PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEMBEGALAN
Ada Dua Kebijakan Yang dapat diambil dalam menangani Tindak Pidana "Begal" yaitu:
1.
Kebijakan Non Penal Tentang Begal
Begal merupakan
istilah baru untuk kejahatan pemerasan dan perampokan yang marak terjadi
beberapa waktu ini.Kejatahan yang membawa dampak ketakutan dan rasa kegelisahan
yang terjadi pada pengendara yang membawa kendaraannya di tempat-tempat yang
rawan dan jauh dari keramaian.
G
P. Hoefnagels[1]
menguraikan beberapa upaya penanggulangan kejahatan , yaitu;
1. Penerapan hukum pidana (criminal law
application);
2. pencegahan tanpa
pidana (prevention without punishment);
3. mempengaruhi
pandangan masyarakat tentang kejahatan
4. Pemidanaan melalui
media masa ( influencing views of society on crime and punishment/mass media).
Berdasarkan pendapat G P. Hoefnagels diatas dapat disimpulkan bahwa Penanggulangan kejahatan (termasuk pembegalan) secara umum dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu penal dan non penal. Keduanya dalam fungsinya harus berjalan beriringan secara sinergis, saling melengkapi.Jika pendekatan pertama yang ditempuh, maka ini berarti bahwa penanggulangan suatu kejahatan dilakukan dengan menggunakan kebijakan hukum pidana (penal policy/criminal law policy/strafrechtspolitiek), yaitu, “usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuaidengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang” [2]. Artinya, hukum pidana difungsikan sebagai sarana pengendali sosial, yaitu dengan sanksinya yang berupa pidana untuk dijadikan sarana menanggulangi kejahatan. Dengan demikian diharapkan norma-norma sosial dapat ditegakkan dengan sanksi yang dimiliki hukum pidana terhadap seseorang yang berperilaku tidak sesuai dengan norma-norma tersebut.
Kenyataan diatas menunjukkan bahwa kebijakan hukum pidana bukan
semata mata pekerjaan legislator ( perundang-undangan ) yang bersifat yuridis
normatif tetapi juga pakar dibidang lain seperti sosiologi, historis dan
komparatif yang lebih bersifat yuridis faktual. Pada uraian tersebut tampakbahwa
ada keterpaduan (integritas) antara politik kriminal dan politik sosial,
penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal. Keterpaduan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas penanggulangan kejahatan, artinya
optimalisasi hukum pidana saja tanpa dibarengi upaya-upaya sosial lainnya tentu
akan sangat sulit diwujudkan. Kenyataan ini tidak terlepas dari alasan-alasan
sebagai berikut; [3]
(1) Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila;
(2) Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu
perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) bagi warga
masyarakat;
(3) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip
biaya dan hasil (cost and benefit principle);
(4) Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas
atau kemampuan daya kerja dari badan-badan hukum yaitu jangan sampai ada
kemampuan beban tugas (overbelasting).
Barda
Nawawi Arief menyatakan;[4]
1. Ada keterpaduan antara kebijakan penanggulangan kejahatan
dengan keseluruhan kebijakan pembangunan sistem poleksosbud;
2. Ada keterpaduan antara
"treatment of offenders" (dengan pidana/ tindakan) dan
"treatment of society".
3. Ada keterpaduan antara "penyembuhan/pengobatan
simptomatik" dan "penyembuhan/pengobatan kausatif";
4. Ada keterpaduan antara
"treatment of offenders" dan "treatment of the victim";
5. Ada keterpaduan antara "individual/personal
responsibility" dengan "struktural/functional responsibility";
6. Ada keterpaduan antara sarana penal dan non-penal;
7. Ada keterpaduan antara sarana formal dan sarana informal/
tradisional; keterpaduan antara "legal system" dan "extra-legal
system";
8. Ada keterpaduan antara "pendekatan kebijakan"
("policy oriented approach") dan "pendekatan nilai"
("value oriented approach"). Konkretnya, kebijakan kriminal itu harus
dilakukan dengan pendekatan terpadu (integreted approach) antara politik,
kriminal dan sosial serta keterpaduan (integralitas) antara upaya
penanggulangan kejahatan dengan penal dan nonpenal. Disamping adanya
keterbatasan apabila hanya dipergunakan penal saja, sarana non penal sangat
diperlukan karena secara tidak lagsung memberi dampak/ pengaruh preventif
terhadap kejahatan.
2.
Solusi Untuk Mengurangi Aksi Begal di Masyarakat
Durkheim
menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu hal yang normal di dalam masyarakat.
Dengan kata lain, masyarakat tidak akan mungkin dapat terlepas dari tindak
kejahatan karena kejahatan itu sendiri terus berkembang sesuai dengan kedinamisan
masyarakat (Wolfgang, Savizt dan Johnson, 1970). Hal ini dapat dipahami bahwa
kecenderungan yang dimiliki oleh manusia untuk terus mencari sesuatu yang baru
untuk memecahkan masalah yang terjadi sebelumnya, atau untuk mencegah suatu
masalah itu dapat terjadi.Dalam menghadapi kejahatan, manusia meningkatkan
suatu sistem pengamanan. Namun demikian, pelaku kejahatan juga akan terus
belajar dan mengembangkan teknik dan berbagai modus yang dapat melumpuhkan
sistem pengamanan yang ada.
Di dalam
masyarakat yang sedang berubah, khususnya kota-kota satelit yang berada di
sekitar Jakarta, seperti Kota Depok dan sekitarnya, sifat dari kejahatan
tersebut juga akan berubah dengan cepat mengikuti perubahan di dalam
masyarakatnya. Kecenderungan dari wilayah kota satelit yang berusaha
mengimbangi ibukota menimbulkan suatu fenomena pembangunan yang kurang siap,
dengan menguatnya peningkatan jumlah dan mobilisasi penduduk, dibarengi dengan
pertumbuhan wilayah pemukikan (perumahan), perkantoran, pusat perbelanjaan yang
mempertontonkan kesenjangan ekonomi (http://nasional.kompas.com/read/2011/01/
20/03500169/, 2011). Kejahatan yang
terjadi itu merupakan dampak dari hilangnya suatu sistem kontrol sosial akibat
perubahan sosial yang terjadi.
Kejahatan
yang berkembang di masyarakat itu dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan
dalam bentuk atau jenis kejahatan yang beragam, dan dilatarbelakangi oleh
faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan tempat, waktu dan jenis
kejahatan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pakar menunjukkan
bahwa kejahatan dapat terjadi karena proses dan situasi tertentu sehingga
mendorong orang untuk melakukannya (Dadang Sudiadi, 2001: 2). Meskipun
kesenjangan ekonomi menjadi hal utama yang mendorong orang untuk melakukan
kejahatan, misalnya pencurian, aksi tersebut tidak akan dapat dilakukan ketika
tidak pada waktu dan tempat yang memungkinkan, serta dengan modus kejahatan
yang tepat (pendekatan situasional).
Berbagai
cara atau strategi telah dirancang untuk mencegah terjadinya tindakan kejahatan
pembegalan yang umumnya terjadi di lingkungan masyarakat.Strategi ini merupakan
suatu cara untuk mengondisikan waktu dan tempat sedemikian rupa untuk mencegah
atau menghilangkan kesempatan bagi para pelaku untuk melakukan kejahatan. Dari
semua strategi itu, diantaranya adalah Neighbourhood
Watch Program, yang menekankan peran aktif masyarakat dalam upaya
pencegahan kejahatan; Community-Police
Relation, yang menekankan peran serta masyarakat dalam membantu tugas-tugas
kepolisian; Environmental Security,
yang menekankan keterangan fisik lingkungan; dan Defensible Space, yang tidak hanya menekankan rancangan atau
setting lingukngan fisik, tetapi juga rancangan dan setting sosial (Dadang
Sudiadi, 2001: 5-6).
Dalam
pendekatakan secara situasional, Clarke
mendemonstrasikan 12 Teknik yang mencerminkan tiga orientasi umum dalam
memahami lokasi yang menjadi target potensial dari kejahatan. Tiga orientasi
itu adalah increasing the effort,
increasing the risk, dan reducing the rewards. 12 Teknik itu kemudian
berkembang menjadi 25 teknik (Cornish dan Clarke, 2003), yang secara rinci
menjelaskan salah satu standar dari strategi pencegahan kejahatan (Lihat Steven
P. Lab, 2010: 196-200). Dalam makalah ini akan ditinjau suatu permasalahan
dengan pendekatan pencegahan kejahatan situasional, berdasarkan Teknik-nya Cornish dan Clarke. Gagasan yang disampaikan oleh Cornish dan Clarke itu
akan menjadi standar untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang akan
dibahas.
Sesuai
dengan perkembangannya, terdapat tiga pendekatan yang dikenal dalam strategi
pencegahan kejahatan.Tiga pendekatan itu ialah pendekatan secara sosial (social crime prevention), pendekatan
situasional (situtational crime
prevention), dan pencegahan kejahatan berdasarkan komunitas/masyarakat (community based crime prevention).
1.
Social crime prevention
merupakan pendekatan yang berusaha mencegah kejahatan dengan jalan mengubah
pola kehidupan sosial daripada bentuk fisik dari lingkungan. Pencegahan
kejahatan dengan pendekatan ini menuntut intervensi dari pemerintah yang
menyusun kebijakan dan penyedia fasilitas (alat-alat) bagi masyarakat dalam
upaya mengurangi perilaku kriminal, dengan mengubah kondisi sosial masyarakat,
pola perilaku, serta nilai-nilai atau disiplin-disiplin yang ada di masyarakat.
Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana agar akar dari penyebab kejahatan
dapat ditumpas. Sasaran penyuluhan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah
masyarakat umum dan pelaku-pelaku yang berpotensi melakukan kejahatan.
Pendekatan ini memiliki hasil jangka panjang, tetapi sulit untuk mendapatkan
hasil secara instan karena dibutuhkan pengubahan pola sosial masyarakat yang
menyeluruh
2.
Pendekatan Kedua
adalah Situational crime prevention. Pencegahan
secara situasional berusaha mengurangi kesempatan untuk kategori kejahatan
tertentu dengan meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait, meningkatkan
kesulitan dan mengurangi penghargaan (Clarke,
1997). Pendekatan ini memiliki tiga indikasi untuk menentukan definisinya,
yaitu:Diarahkan pada bentuk-bentuk kejahatan yang spesifik.Melibatkan
manajemen, desain atau manipulasi keadaan lingkungan sekitar dengan cara yang
sistematis.Menjadikan kejahatan sebagai suatu hal yang sulit untuk terjadi,
mengkondisikan bahwa kejahatan yang dilakukan akan kurang menguntungkan bagi
pelaku (Clarke, 1997).Situational crime prevention pada
dasarnya lebih menekankan bagaimana caranya mengurangi kesempatan bagi pelaku
untuk melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan waktu tertentu.
Dengan demikian, seorang pencegah kejahatan harus memahami pikiran rasional
dari para pelaku. Hasil dari pendekatan ini adalah untuk jangka pendek.
3.
Pendekatan yang
ketiga, community-based crime revention,
adalah pencegahan berupa operasi dalam masyarakan dengan melibatkan masyarakat
secara aktif bekerja sama dengan lembaga loal pemerintah untuk menangani
masalah-masalah yang berkontribusi untuk terjadinya kejahatan, kenakalan, dan
gangguan kepada masyarakat. anggota masyarakat didorong untuk memainkan peran
kunci dalam mencari solusi kejahatan. Hal ini dapat dicapai dengan memperbaiki
kapasitas dari anggota masyarakat, melakukan pencegahan secara kolektif, dan
memberlakukan kontrol sosial informal (Lihat
http://www.ojp.usdoj.gov/BJA/evaluation/program-crime-prevention/, diakses pada
17 Juni 2015).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar